Selasa, 08 Mei 2012

sinopsis dan unsur ekstrinsik novel PPC


SINOPSIS NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBIRRAHMAN EL SHIRAZY

Ibuku memaksaku untuk menikahi gadis pilihannya yang sama sekali tak kukenal. Aku tak berdaya sama sekali untuk melawannya, aku tak punya kekuatan apa-apa untuk memberontakknya, sebab setelah ayahku tiada, bagiku ibu adalah segalanya.
            Gadis yang akan dijodohkan denganku bernama Raihana. Ia adalah anak dari teman karib ibuku waktu nyantri di Mangkuyuban Solo dulu. Ibuku bercerita, sejak di dalam kandungan ibuku, aku telah dijodohkan dengan anak teman karib ibuku itu yang bernama Raihana yang sama sekali tak ku kenal. Bisa-bisanya ibuku berbuat seperti itu. Dahulu mereka pernah benjanji, jika dikaruniai anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh ikatan persaudaraan. Maka dari itu ibuku mengharanp keikhlasanku, dan jangan mengecewakan harapan ibuku yang telah hadir jauh sebelum diriku lahir.
            Percayalah pada ibu, ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu tahu persis garis keturunan Raihana, kesalehan kedua orang tuanya. Ibu meyakinkan diriku. Begitu juga adikku mencoba meyakinkanku. Raihana orangnya baik, ramah, halus budi, sarjana pendidikan, penyabar, berjilbab dan hafal Alquran komentar Aida, adikkku.
            Kucoba selidiki tentang Raihana kepada adikku, ternyata Raihana lebih tua 2 tahun dari pada aku. Namun terus saja adikku mencoba untuk meyakinkan aku, yang dibilangnya wajahnya baby face, tampak masih sweet seventeen dan menikah dengan wanita yang lebih muda lagi nge-trend.
            Sesungguhnya aku tak mau menikah dengan wanita yang tak kucintai dan kusayangi. Namun akhirnya aku pasrah dan menuruti keinginan ibuku. Aku tak mau mengecewakannya. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibuku. Meskipun dalam hatiku ada kecemasan-kecemasan yang mengintai. Sebenarnya aku sudah mempunyai kriteria sendiri untuk calon isteriku. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibuku yang amat kucintai itu. Saat khitbah, sekilas kutatap wajah Raihana, dan benar kata Aida, ia memang baby face dan lumayan anggun. Namun garis-garis kecantikkan yang kuimpikan tak kutemukan sama sekali. Semua keluargaku mengakui bahwa Raihana cantik, bahkan pemilik salon terkenal mengacungkan jempol saat menatap foto Raihana.
            Seleraku lain, aku begitu hanyut dengan citra gadis-gadis  Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai, berwajah putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan. Dalam balutan jilbab sutera putuh wajah gadis Mesir itu bersinar-sinar seperti permata Zabarjad yang bersih, indah berkilauan tertimpa sinar purnama. Sejuk dan mempesona jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Aura pesona kecantikkan gadis Mesir titisan Cleopatra sedemikian mengakar dalam otakku. Perasaanku, dan hatiku. Aku heran kenapa aku jadi begini. Mana ada kecantikkan Cleopatra di Jawa.
            Di hari-hari menjelang akad nikah, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku pada calon isteriku, tetapi usahaku selalu saja sia-sia. Bibit cinta yang kuharapkan malah menjelma menjadi pohon-pohon kaktus berduri yang tumbuh mengganjal di dalam hatiku.ingin aku memberontak pada ibu, tapi teduh wajahnya selalu membuatku luluh. Haruskan aku menikah dalam keadaan seperti ini dengan orang yang tak kucintai? Dan lagi-lagi aku pasrah, sinar wajah ibu berkilat-kilat hadir didepan mataku.
            Hari pernikahan itu datang. Aku seumpama tawanan yang digiring ke tiang gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagaikan mayat hidup, hati hampa tanpa cinta. Pesta meriah dengan empat bunyi grup rebana terasa konyol, lantunan shalawat terasa menusuk-nusuk hati. Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Perasaanku dan nuraniku benar-benar mati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-benar merana. Harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai. Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksa untuk mesra bukan karena cinta namun hanya sekadar karena aku manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya.  Hatiku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku. Aku pasrah tanpa daya.
            Tepat dua bulan setelah pernikahan, ku bawa Raihana ke sebuah rumah kontrakkan di pinggir kota Malang. Tak kutemukan hari-hari indah selayaknya pengantin baru. Yang kurasakan  adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera. Betapa susahnya hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan hidup bersama Raihana, semuanya serba bersama tapi masya Allah bibit-bibit cintaku tak juga tumbuh. Pepatah jawa kuno bilang, wiwiting tresno jalaran soko kulino, yang artinya hadirnya cinta sebab sering bersama. Namun pepatah itu agaknya tak berlaku untukku.
            Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan. Aku tak tau dari mana datangnya perasaan ini. Aku telah mencoba membuang jauh-jauh perasaan tidak baik ini, aku tak mau muak dan benci pada siapapun apalagi pada isteriku sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Namun perasaan itu tidak bisah diusir. Bahkan dari detik ke detik rasa muak itu semakin menjadi-jadi, menggurita dan menjajah diri. Aku tak berdaya apa-apa. Sikapku mulai terasa lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidurpun lebih banyak di ruang kerja atau diruang tamu. Aku merasa hidupku adalah sia-sia. Belajarku di luar negeri selama lima tahun juga sia-sia. Pernikahanku sia-sia, keadaanku sia-sia, dan usahaku untuk berbakti pada ibu adalah sia-sia. Aku hanya menemui kesia-siaan, sebab aku telah berusaha menemukan cahaya cinta itu namun tak kutemukan juga. Yang datang justru  rasa muak dan hampa.
            Tidak hanya aku yang tersiksa dengan keadaan ini. Raihan mungkin merasakan hal yang sama. Ia adalah wanita jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai dengan kesabaran, selalu mengalah dengan keadaan dan menomorsatukan suami ketimbang dirinya sendiri. Ia mencoba memberanikan diri bertanya tentang perubahan sikapku, ia mencari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku tapi selalu saja kujawab “tidak ada apa-apa kok mbak”. Ada kekagetan dalam wajah Raihana saat ku panggil “mbak”. “ kenapa mas memanggilku “mbak”? aku inikan isteri mas apakah mas tidak mencintaiku? Tanyanya dengan wajah sedih. “wallahu’alam” jawabku. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk dan menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku. Rihana berkata mengapa mas mengucapkan akad nikah itu kalau mas tidak mencintaiku? Apa yang kurang dariku mas. Mas jangan diam, kalau ada yang tidak berkenaan mas bilang dan menegurnya. Apa yang harus aku lakukan mas? Bagaimana caranya agar bisa membahagiakanmu mas? Satu hal yang jangan kau pinta mas yaitu menceraikan aku, itu adalah neraka bagiku, aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Ku mohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadah di dunia ini. Raihana mengibah penuh pasra namun sayang sungguh sayang aku tidak merasakan apapun, tak merasa ibah terhadapnya.
            Hari terus berjalan namun komunikasi kami tidak, kami hidup seperti orang asing. Namun Raihana masih menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore ketika pulang mengajar aku kehujanan di jalan. Seluruh tubuhku basah kuyub karena aku tak membawa jas hujan. Aku sampai dirumah sehabis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat, perutku masih kosong karena tidak sarapan. Raihana memandangku dengan khawatir. Langsung ia bergegas jeketku yang basah kuyub dan menyediakan air panas untukku mandi. Namun aku tak ada berkata apapun kepada Raihana. Aku langsung masuk kamar mandi dan selesai mandi Raihana juga telah menyiapkan pakaianku serta telah membuatkanku wedang jahe. Namun aku merasa mual dan berlari ke kamar mandi dan muntah disana, Raihana mengejarku dan memijitku, katanya aku masuk angin. Dengan kebiasaan yang dilakukan seperti ibuku dia mengerokin tubuhku, dan setelah itu membawakanku bubur kacang hijau panas. Aku menyantap bubur itu, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Raihana duduk di kursi yang tak jauh dariku dengan membacakan alquran. Di luar sangat hujan deras dan petir menggelegar-gelegar. Tak lama setelah itu tertidurlah aku dan dalam tidurku aku bertemu dengan Ratu Cleopatra di pantai Cleopatra, Alexandria. Ia mengundangku untuk makan malam bersama keponakannya Mona Zaki dan menyuntingnya di suatu istana. Segala persiapan aku lakukan agar bertemu dengan wanita yang sangat cantik itu. Malam harinya sampailah aku di istana Ratu Cleopatra, disana ada Mona Zaki dan kedua orangtuanya. Aku telah menyuntingnya dan saat aku melangkah maju dan akan duduk bersanding dengan Mona Zaki tiba-tiba Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan kecewaan yang luar biasa dan menatap Raihana dengan perasaan jengkel namun Raihana meminta maaf karena telah membangunkanku. Dia membangunkanku karena aku belum sholat isya, mungkin dia baru selesai sholat duluan karena tampak dari mukena yang belum terlepas. Aku bangkit mengambil air wudhu dan sholat.
            Aku merasa sulit hidup bersama Raihana. Hidupku kami serasa hidup dalam dunia masing-masing. Aku telah memasuki bulan ke enam menjadi suaminya namun sudah satu bulan aku tak tidur bersamanya. Aku lebih senang dan nyaman tidur di ruang kerja bersama buku-buku dan komputerku. Raihana tak mampu membuka hatiku dan meluruhkan perasaanku. Mengapa aku sulit jatuh cinta, seribu doa terpanjatkan agar hatiku terbuka namun yang hadir tetap saja aura gadis lembah sungai Nil. Aku mungkin terlalu memuja keelokan gadis Mesir yang jika ada delapan gadis Mesir maka yang cantik ada enam belas karena bayangannya juga cantik. Aku benar-benar terpenjara dalam keadaan ini. Untuk menghibur diri suatu pulang mengajar, kulihat kaset sinetron berseri Ibnu Hazm dari Mesir. Dengan melihat sinetron itu kaembali hadir pesona kecantikka gadis-gadis titisan Cleopatra. Dalam sinetron itu menceritakan seorang istri yang selalu setia mencintai suaminya dan begitu juga seorang suami yang sangat mencintai istrinya walau banyak godaan yang menghampiri mereka. Namun dengan keteguhan cinta mereka sampai saat suaminya di penjara sekalipun istrinya masih tetap selalu setia menjenguk dan menantinya. Istrinya  tak pernah goyah akan cintanya pada suaminya yang terhina di penjara. Sebuah keteladana cinta yang luar biasa. Aku ingin mencintai istriku seperti dalam sinetron itu yang mencintai istrinya dengan sepenuh jiwa dan dicintai istriku seperti dalam sinetron itu yang dicintai oleh istrinya.
            Kemudian tersadar aku dalam pengembaraanku pada sinetron itu, karena Raihana mengajakku untuk datang pada acara aqiqahaan Yu Imah. Segan jika yang selalu di elu-elukan tidak hadir disana. Kemudian pelan-pelan Raihana meletakkan onde-onde dan segelas wedang jahe di atas meja. Aku biasa saja terhadapnya. Raihana meminta maaf jika telah menggangguku dan perlahan meninggalkanku. Dinda..... kataku. Sontak Raihana menghentikan langkahnya dan menghadapku, ia tersenyum karena bahagia dipanggil Dinda. Kita akan berangkat kesana setelah sholat dzuhur, insya allah. Ucapku sambil menatap wajanya dengan senyum ku paksakan. Raihana menatapku cerah ada secercah senyum bersinar di bibirnya. Terima kasih Mas, ibu kita pasti senang jawabnya padaku.
            Acara pengajian dan aqiqahan putram ketiga dari Yuk Fatimah, kakak sulung Raihana membawa sejarah baru dalam lembaran pernikahan kami. Memang betul kedatangan kami sangat dielu-elukan  keluarga. Sesampai disana kami disambut dengan bahagia oleh mertua dan ibundaku sendiri. Raihana begitu bahagia lain denganku. Yu Imah menggoda kami dengan candanya. Sambutan keluarga begitu hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Ia selalu menyanjung kebaikanku sebagai suaminya, orang yang dicintainya. Bahkan mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Pusingnya lagi ibu mertuaku dan ibundaku menyindir tentang keturunan. Insya allah tak lama lagi ibu akan segera menimang cucu doakan kami, bukan begitu Mas? Sahut Raihana sambil menyikut lenganku, akupun tergagap dan menganggukkan kepalaku. Setelah peristiwa itu ku coba untuk bersikap bersahabat dengan Raihan. Aku berpura-pura mesra terhadap Raihana dan Allah maha kuasa, kepura-puraanku membuahkan hasil Raihana hamil. Ia semakin manis, saudara semua bergembira, ibuku bahagia namun hatiku menangis meretapi cintaku yang tak kunjung datang. Tuhan kasihanilah hamba, hadirkanlah cinta itu segera, aku takut kelak juga tak bisa mencintai bayi yang tak lain adalah darah dagingku sendiri. Sejak itu hatiku semakin sedih dan aku semakin lalai untuk memperhatikan Raihana dan kandungannya. Saat usia kehamilannya memasuki bulan keenam, Raihana minta ijin untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dengan alasan kesehatannya. Dan ku antarkan dia kesana. Ketika aku pamitan Raihana berpesan untuk mencairkan ATM-nya d bawah kasur no pinnya tanggal pernikahan kami, guna untuk menambah biaya persalinan kelak.
            Setelah Raihana tinggal disana aku merasa lega. Aku bisa bebas melakukan apa saja hanya saja sedikit repot karena harus mempersiapkan segalanya sendirian. Waktu terus berjalan dan aku merasa enjoy tanpa Raihana dan suatu saat ketika aku pulang kehujanan dan sampai rumah sudah petang aku merasa tubuhku benar-benar  lemas, aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual, saat itu terlintas andaikan ada Raihana dia pasti telah menyiapkan air hangat, bubur kacang hijau, mengerokin punggungku, dan menyelimuti tubuhku dengan selimut. Satt itu ku lakukanlah segalanya sendirian, menyiapkannya sendirian agar tubuhku  segar. Aku terbangun jam enam pagi ada penyesalan dalam diri karena  aku belum sholat isya dan terlambat sholat subuh. Baru terasa, andaikan ada Raihana aku pasti tidak lalai sholat meskipun sakit. Lintasan kehadiran Raihana hilang setelah aku beranmgkat mengajar. Ketika aku makan siang bersama Pak Hardi dan Pak Susilo, kami berbincang-bincang tentang Pak Agung yang kehidupannya sungguh menyedihkan.  Ceritanya Pak Agung ini adalah seseorang yang cerdas karena kecerdasannya beliau berhasil mempersunting wanita cantik yang namanya adalah Judit Barton. Namun sayang wanita yang telah menjadi istri Pak Agung selingkuh dengan pria bule. Dan sekarang ini beliau menjalankan terapi psikologis. Dan di sela-sela perbincangan itu mereka mengatakan hidupku sungguh beruntung memiliki istri yang sangat ideal, cantik, pintar, penurut, setia, dan lebihnya lagi hafal qur’an. Cerita saat makan siang tadi mengingatkanku pada Raihana. Namun entah mengapa sudah satu bulan berpisah dengannya rasa rindu tak pernah ada untuknya. Cerita itu berlalu dengan sendirinya apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab selama 10 hari. Diantara tutornya adalah profesor bahasa arab dari Mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen yang pernah menempuh S1 nya di Mesir. Lama kelamaan beliau akrab denganku dan menceritakan pengalamannya saat di Mesir yang menurutnya pahit tapi terlanjur dijalani. Ia telah menyesal telah menikah dengan wanita Mesir yang bernama Yasmin, karena kecantikannyalah beliau menderita. Saat menjalin rumah tangga dengan istrinya hidupnya harus serba mewah, selalu menuruti apa yang di inginkan istrinya. Segala sesuatunya aku lakukan untuk membahagiakannya sampai-sampai harta orangtuanya di gadaikan hanya untuk menantu seperti Yasmin. Hingga pada suatu saat ketika harta benda orangtuanya habis karena ingin kembali ke Mesir saat itulah Yasmin memintanya untuk menceraikannya, sungguh wanita tak berhati mulia, sungguh keji perbuatannya telah berselingkuh dan telah mengkhianati cintaku. Aku sangat menyesal , kata beliau telah memilih wanita yang salah. Salah menomorsatukan kecantikan, istri yang cantik namun berperangai buruk. Beliau juga mengatakan bahwa aku beruntung tidak menikah dengan wanita Mesir karena kalau menikah pasti akan sengsara juga.
            Mendengar cerita Pak Qalyubi aku terisak-isak, perjalan hidupnya menyadarkanku dan aku teringat pada Raihana, perlahan wajahnya terbayang di wajah, sudah dua bulan aku berpisah dengannya, tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dalam hati. Raihana tistri yang soleha yang tak pernah meminta apapun,  yang ada hanya pengabdian dan pengorbana. Wajah Raihana telah menyala di dinding hatiku. Bagaimana kabar dan kandungannya. Sebentar lagi melahirkan dan aku teringat pesannya yang memintaku untuk mencairkan tabungannya, tiba-tiba aku merasa ingin pulang dan ingin bertemu Raihana.
            Pulang pelatihan aku sempatkan mampir ke toko busana muslim. Aku membelikan stel busana muslim untuk Raihana, daster, serta pakaian bayi. Dan membelikan sebuah gelang untukknya. Aku ingin memberikan hadiah kejutan dan ingin melihatnya tersenyum atas kedatanganku. Aku langsung ke rumah ibu mertuaku tempat dimana Raihana sekarang berada. Tapi terlebih dahulu aku mampir ke rumah kontrakan untuk memenuhi pesan Raihana mencairkan tabungannya. Sampainya di rumah aku langsung membuka kasur tempat tidur dia selama ini. Aku tersentak kaget dibawah kasur itu kutemukan puluhan kertas merah jambu, aku fikir ia telah selingkuh dengan orang lain namun ternyata surat-surat itu adalah ungkapan batin Raihana yang selama ini aku zhalimi, ia sungguh mencintaiku, merindukanku, ia mendambakan hadirnya cinta sejati yang murni suci dariku.tak terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak, dalam tangisku itu semua kebaikan Raihana terbayang. Dalam keharuan terasa hawa sejuk turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona cleopatra memudar, berganti cahaya cinta Raihana yang terang dihati. Rasa sayang dan cintaku kepada Raihana tiba-tiba terasa begitu kuat mengakar di seluruh syaraf dan nadi. Inginku menumpahkan rasa rindu padanya dan menumpahkan tangis cinta di pangkuannya. Segera ku kejar waktu untuk membagi cintaku pada Raihana. Air mataku berderai-derai, ku kebut kendaraanku, kupacu kencang diiringi derai air mata yang tiada henti menetes di jalanan. Degitu sampai di rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan mengmbil nafas panjang dan mengusap air mata. Melihat kedatanganku ibu merua serta merta memeluk dan menangis tersedu-sedu, aku jado heran dan ikut menangis. Ternyata istriku telah meninggal satu minggu yang lalu karena terjatuh di kamar mandi, sempat di bawa kerrumah sakit namun sayang nyawa Raihana dan bayinya tidak selamat. Ternyata sebelum meninggal ia telah berpesan bahwa ia meminta maaf kepadaku atas segala kekuranganku yang tak  bisa membahagiakanmu dan meminta maaf karena tak sengaja membuatku menderita. Hatiku bergetar hebat mengapa mereka tidak ada yang menberitahuku atas kejadian ini. Ternyata mereka telah mengunjungi kontrakanku dan menelepon ke kampus namun sayang pada saat itu aku sedang ada pelatihan, dan di tambah lagi Raihana yang tak mau mengganggu ketenanganku selama pelatihan. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku sangat pilu, jiwaku remuk, ketika aku sedang merasakan cinta yang membara Raihana telah tiada. Aku terlambat ia telah tiada, ia telah meninggalkanku selamanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan rasa bersalah tiada terkira. Kemudian ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah masih baru di kuburan yang letaknya di pinggir desa. Di atas gundukn itu ada dua batu nisan, nama dan hari wafatnya tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. Aku menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil nama Raihana, sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba, aku ingin Raihana hidup kembali. Hatiku perih tiada terkira. Dunia tiba-tiba gelap semua.......


UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK NOVEL

Ø  Nilai sastra:
Dalam novel  ini terdapat nilai-nilai sastranya, di dalamnya terdapat gaya bahasa yang cukup bagus seperti kata-kata perumpamaan dan khiasan, banyak sekali di gunakan seperti kata “batinku meronta-ronta” dan “jiwaku menangis”. Ada pula beberapa bait puisi di paparkan dalam novel ini yang sungguh sangat luar biasa maknanya. Dapat di lihat dari kutipannya sebagai berikut:
Ibu
Durhakalah aku
Jika dalam diriku,
Tak kau temui inginmu
Ibu,
Durhakalah aku
Jika dalam hidupku,
Tak kau temui legamu
Ibu, durhakalah aku
Jika dalam maumu tak ada mauku
Tapi durhakakah aku, ibu?
Jika dalam diri Raihana tak ada cintaku

Ø  Nilai moral:
Dalam cerita ini juga terdapat nilai moralnya yaitu membahagiakan orangtuanya yang telah sendiri. Menuruti segala keinginan ibunya agar menjadi seorang anak yang berbakti kepada ibunya. Walau harus mengorbankan diri sendiri yaitu dengan menikahi seorang gadis pilihan ibunya, karena ia tak ingin di anggap menjadi anak durhaka maka ia melakukannya dengan sepenuh hatinya. Terlihat dari kutipan berikut:
“ beliau memaksaku untuk menikahi dengan gadis itu. Gadis yang sama sekali tak kukenal. Sedihnya, aku tiada berdaya sama sekali untuk melawannya. Aku tak punya kekuatan apa-apa untuk memberontaknya. Sebab setelah ayah tiada ibu adalah segalanya ” dan kutipan “ dengan pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku ada kekecewaan-kekecewaan yang mengintai. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai ”
Kemudian ada juga nilai moralnya yaitu tetap sabar dan tawakal terhadap seorang suami yang tak pernah mencintai kita, dengan tabah mengabdi dan berbakti menjadi seorang istri yang taat terhadap suaminya yang sama sekali tak pernah mencintainya yang pada akhirnya suaminya itu merasakan penyesalan yang amat dalam karena pada saat cintanya tumbuh untuk istrinya itu dan ingin meminta maaf sayang istrinya telah tiada terlebih dahulu. Sungguh penyesalan yang tak pernah termaafkan sepanjang hidup. Terutama bagi yang mengalami hal seperti itu. Dapat terlihat dari kutipan berikut:
“ aku menangis tersedu-sedu. Hatiku sangat pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku sedang merasakan cinta yang membara pada Raihana, ia telah tiada. Ketika aku ingin menebus semua dosa yang kuperbuat padanya, ia telah meninggalkanku. Ketika cintaku padanya membuncah-buncah. Rinduku padanya menggelegak-gelegak. Aku sudah terlambat. Dia telah tiada. Dia telah meninggalkanku untuk selamanya tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan rasa bersalah tiada terkira “

Ø  Nilai sosial:
Nilai sosialnya juga ada terlihat dari sosialisasi terhadap sesama rekan di kampusnya terutama dosen-dosen yang pernah belajar di Mesir. Ia begitu akrab dengan teman-temannya hanya saja sedikit tidak bersosialisasi kepada istrinya yang selalu menemaninya setiap hari, adanya kekurang akraban di antara mereka, berkomunikasinya juga kurang, sehingga rasa benci yang menyelimutinya lama kelamaan terus membara. Namun ada saat yang bahagia saat mereka berada di acara aqiqahan kakak bungsu Raihana, mereka sangat akrab kepada sanak saudara, ibu mertua dan lainnya. Disitu terasa hubungan yang hangat di antara mereka meskipun di dalam hatinya tak terasa kebahagiaan yang ada hanya kepura-puraan. Dapat terlihat dari kutipan berikut:
“ sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan pada semuanya ia tidak pernah bercertita apa-apa kecuali menyanjung kebaikanku sebagai suami, orang yang dicintainya bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku ” dan kutipan “ insya allah, tak lama lagi ibu akan segera menimang cucu. Doakanlah kami. Bukan begitu mas? Sahut Raihana sambil menyikut lenganku ”

Ø  Nilai ekonomi:
Keadaan yang tidak begitu sulit. Mereka masing-masing memiliki tamatan sarjana, bekerja sebagai dosen, namun hanya saja masih hidup di dalam kontrakan. Tidak ada kekurangan apapun di rumah tangga mereka, semuanya terpenuhi dengan baik. Tak pernah berlebihan dan tak pernah mengeluh dengan keadaan ekonomi yang mereka miliki. Memiliki ATM dan pekerjaan tetap merupakan patokan yang memperlihatkan keadaan mereka sudah lebih dari cukup. Terlihat dari kutipan berikut:
“ mas untuk menambah biaya persiapan kelahiran anak kita tolong cairkan tabunganku! ATMnya ada di bawah kasur tidur ”

Ø  Nilai agama:
Nilai agama yang terdapat di dalamnya yaitu pengabdian seorang anak terhadap ibunya, yang menuruti segala keinginan ibunya walau harus mempertaruhkan dirinya sendiri, karena ia takut akan durhaka jika kelak tak terpenuhi keinginan ibunya itu. Karena kasih sayang yang amat sangat maka semua itu dilakukan. Kemudian jangan pernah melihat seseorang dari kecantikannya saja, karena kecantikan tidak di dasari kecantikan di dalam hati maka semuanya sia-sia dan percuma, jangan pernah menganggap kecantikan segalanya, kecantikan itu tidak untuk selamya, jangan mematokan kecantikan untuk hidup bahagia namun cerminkanlah rasa selalu bersyukur dan menerima apa adanya merupakan suatu cara sukses dalam menjalankan hidup terutama dalam hidup berumah tangga. Dan yang selanjutnya yaitu pengabdian seorang istri yang selalu setia menemaninya walau suaminya itu tak pernah mencintainya, ia hanya sabar dan selalu berusaha menjadi istri yang soleha, tak pernah meminta apapun, tak pernah menjelek-jelekan suaminya, membantah suaminya tak pernah yang ada hanyalah bangga menjadi istri yang selalu menyayangi suaminya. Dan tak pernah menyesal karena telah menikah dengan suaminya itu. Terlihat dari kutipan berikut:
sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan pada semuanya ia tidak pernah bercertita apa-apa kecuali menyanjung kebaikanku sebagai suami, orang yang dicintainya bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku”


 KESIMPULAN

Seorang anak yang mulanya dijodohkan oleh ibunya dan ibunya meminta agar anaknya menikahi gadis pilihan ibunya itu. Takut dikata tak membahagiakan ibunya dengan terpaksalah anaknya menuruti keinginan ibunya yang sudah lama itu. Ia menikahi seorang wanita yang baik, sabar, dan hafal qur;an, namu hanya saja ia tak pernah mencintainya sedikitpun tak pernah, yang ada di dalam hatinya hanyalah pesona wanita titisan Cleopatra yang dimana ada delapan gadis Mesir pasti yang cantik ada enam belas karena bayangannya juga ikut cantik. Hari terus berjalan seiringnya waktu namun rasa sayang dan cinta itu tak kunjung datang kepadanya. Hingga suatu saat ia mendengar cerita-cerita orang yang telah menikah dengan wanita Mesir mengalami kegagalan dan kepahitan serta kehancurnya, terlintaslah ia akan keberuntungannya tidak menikah dengan wanita Mesir danm seketika tunbuh cinta terhadap istrinya itu. Namun sayang saat ia ingin menemui istrinya di rumah ibunya ternyata istrinya yang sedang mengandung itu meninggal dunia akibat terpeleset di kamar mandi, sungguh sangat menyesal kala itu melihat semua kehidupannya, sungguh sangat menyedihkan kisah hidupnya. Itu merupakan penyesalan yang tak pernah terlupakan, ia ingin istrinya hidup kembali dan akan meminta maaf serta mencintai dan menyayangi dirinya seperti apa yang telah dilakukan istrinya terhadapnya dahulu yang selalu sabar, setia, patu dan selalu mengabdi kepadanya. Namun semuanya sia-sia istrinya telah tiada semua hilang begitu saja dan inilah akhir cerita dari novel “ PUDARNYA PESONA CLEOPATRA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar